Salah satu sumber energi alternatif yang sedang dikembangkan saat ini adalah sel tunam (fuel cell). Sel tunam (fuel cell) merupakan suatu alat konversi energi yang mampu menghasilkan energi listrik dari bahan bakar hidrogen. Pada tahun 1839, Sir William Grove berhasil menciptakan sel tunam (fuel cell) untuk yang pertama kalinya. Dari penelitian yang dilakukan diketahui bahwa air dapat terurai menjadi hidrogen dan oksigen ketika diberikan arus listrik. Proses ini dikenal dengan proses elektrolisis. Hipotesis yang dikeluarkan adalah jika proses elektrolisis air tersebut dibalik maka akan dihasilkan air dan arus listrik. Istilah sel tunam (fuel cell) kemudian berhasil dipopulerkan beberapa tahun kemudian oleh Ludwig Mond dan Charles Langer dimana kedua ilmuwan tersebut membuat suatu model praktis untuk menghasilkan listrik[3]. Bahan baku utama dari sel tunam (fuel cell) adalah gas hidrogen yang dapat berasal dari sinar matahari, sampah organik (biomass) ataupun dari angin[1,3]. Sel tunam (fuel cell) merupakan alat konversi energi yang dapat diisi ulang (rechargeable) dan juga dapat dibawa kemana-mana (portable)[3]. Semua hal tersebut di atas membuat sel bahan bakar (fuel cell) dapat dijadikan sebagai sumber energi yang cukup potensial untuk mengatasi permasalahan energi global dewasa ini. Secara umum fuel cell dapat didefinisikan sebagai suatu alat konversi energi kimia dari beberapa reaktan sehingga dapat menghasilkan suatu energi listrik melalui suatu reaksi elektrokimia secara langsung[4]. Reaksi elektrokimia yang terjadi pada fuel cell merupakan suatu reaksi pembakaran yang dapat dirumuskan dalam persamaa 2.1 sebagai berikut[4]:
2H2(g) + O2(g)à 2H2O(g) + Energi (2.1)
Bahan bakar berupa oksigen dapat diperoleh dari udara sedangkan gas hidrogen bisa diperoleh dari reaksi reformer hidrokarbon yang berasal dari pabrik besar[3]. Selain itu, gas hidrogen sendiri juga dapat diperoleh dari proses elektrolisis air[3]. Kendala yang dihadapi dalam hal bahan bakar diantaranya adalah gas hidrogen yang bermolekul kecil, susah dicairkan, dan mudah terbakar sehingga memberikan kesulitan saat penyimpanan dan distribusi. Solusi yang diterapkan untuk menangani gas hidrogen ini diantaranya adalah dengan memperkecil reaktor reformer dengan bahan baku LPG atau gas metana, menguraikan metanol yang dibuat dari pabrik besar tetapi dalam bentuk cair sehingga mudah untuk dipindahkan. Gas hidrogen juga dapat diperoleh dari metanol setelah diuraikan menjadi gas CO dan hidrogen, kemudian gas CO dioksidasi menjadi CO2 dan air[3]. Elektron yang dihasilkan selanjutnya dimanfaatkan sebagai arus listrik. Residu yang dihasilkan dari rekasi dalam suatu fuel cell hanyalah berupa air sehingga tidak mencemari lingkungan. Skema kerja dari sistem input dan output dari fuel cell dapat dilihat pada gambar di bawah ini[1]:
Sistem fuel cell yang bekerja menggunakan hidrogen dapat didesain menjadi suatu sistem yang ringan dan mudah dibawa. Rangkaian fuel cell juga tidak mempunyai bagian yang bergerak atau bergetar (bila dibandingkan sistem piston pada bahan bakar minyak) dan sama sekali tidak menimbulkan polusi. Sehingga pada kondisi yang ideal, sistem ini tahan uji[4]. Untuk itu fuel cell menjadi kandidat yang sangat baik sebagai sumber energi alternatif. Fuel cell sebagai sumber energi alternatif dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis, berdasarkan kombinasi tipe bahan bakar dan oksidan, tipe elektrolit yang digunakan, temperatur operasi, dan lain-lain. Fuel cell berdasarkan jenis elektrolit penyusunnya dapat dibedakan menjadi:
- Alkaline Fuel Cell (AFC),
- Phosphoric Acid Fuel Cell (PAFC),
- Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC),
- Solid Oxide Fuel Cell (SOFC),
- Polymer Electrolyte Membrane Fuel Cell (PEMFC), dan
- Direct Methanol Fuel Cell (DMFC).
Perbedaan dari jenis-jenis fuel cell tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Parameter | PEMFC | AFC | PAFC | MCFC | SOFC |
Electrolite | Hydrated Polimeric Ion Exchange Membrane | Potassium Hydroxide In Asbestos Matrix | Immobilized Liquid Phosphoric Acid in SiC | Immobilized Liquid Molten Carbonate in LiAlO2 | Perovskite (ceramic) |
Catalyst | Platinum | Platinum | Platinum | Electrode Material | Electrode Material |
Electrodes | Carbon | Transition Metal | Carbon | Nickel and NiO | Perovskite |
Interconnect | Carbon or Metal | Metal | Graphite | Stainless steel / nickel | Ni, steel or ceramic |
Operating Temperature | 40-80°C | 65-220°C | ±205°C | ±650°C | 600-1000°C |
Charge Carrier | H+ | OH- | H+ | CO32- | O2- |
External Reformer | Yes | Yes | Yes | No | No |
Prime Cell Components | Carbon based | Carbon based | Graphite based | Stainless Steel based | Ceramic based |
Product Water Management | Evaporative | Evaporative | Evaporative | Gaseous Product | Gaseous Product |
Sementara rentang daya listrik yang dapat dihasilkan oleh setiap jenis fuel cell dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Sebagai suatu alat konversi energi, fuel cell memiliki beberapa keunggulan yang membuat fuel cell menjadi kandidat yang cukup menjanjikan sebagai suatu sumber energi alternatif. Beberapa keunggulan yang dimiliki oleh fuel cell ini adalah sebagai berikut[5]:
· Efisiensi energi yang cukup tinggi,
· Tidak mengeluarkan emisi suara atau tidak berisik,
· Bebas emisi polutan udara sehingga ramah lingkungan,
· Dapat digunakan untuk beragam aplikasi penggunaan.
Sel bahan bakar (fuel cell) memiliki banyak jenis dan spesifikasi. Pengelompokan jenis fuel cell dilakukan berdasarkan parameter jenis elektrolit yang menyusun fuel cell tersebut. Secara umum jenis elektrolit yang terdapat di dalam fuel cell akan menentukan[5]:
- Jenis sel bahan bakar (fuel cell),
- Jenis reaksi elektrokimia yang terjadi di dalam fuel cell,
- Jenis katalis yang digunakan,
- Jenis bahan bakar atau input yang diperlukan,
- Rentang temperatur kerja dari fuel cell.
No comments:
Post a Comment